Sidney Jones, CIA atau provokator Yahudi
Seorang yang banyak mengopinikan bahwa Islam adalah Teroris adalah Sidney Jones. Bahkan orang ini sangat getol mempropagandakan bahwa semua simbol-simbol Islam adalah simbol Teroris? Siapakah Sidney Jones ini? Berikut ini hasil investigasi tentang Sidney Jones.
Sidney Jones, direktur ICG (International Crisis Group) untuk Indonesia, tersandung masalah, karena sebagai orang asing kehadirannya tidak lagi dikehendaki di negeri ini. Alasan pengusiran itu, menurut Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) AM Hendropriyono, disebabkan oleh laporan-laporan yang dipublikasikannya berkenaan dengan terorisme Jamaah Islamiyah dikategorikan bias atau bersifat fitnah.
Membaca laporan-laporan yang disampaikan Sidney Jones secara berkala, niscaya membuat banyak orang terkecoh. Tapi, bagi kalangan aktivis pergerakan, laporan itu haruslah disikapi dengan waspada dan hati-hati. Ketika sekelompok orang mendesak untuk menanggapi beberapa laporan yang sudah dipublikasikan ICG, penulis tidak merasa kaget: “Ini hanya sebuah permainan.” Saya percaya, Sidney Jones adalah seorang ilmuwan, sembari berharap, cepat atau lambat, ia akan kembali kepada fitrahnya sebagai ilmuwan, yaitu mengutamakan kebenaran serta menjunjung tinggi kejujuran intelektual.
Sejak tahun 1980-an, ketika merebak kasus subversi yang diidentikkan dengan gerakan Islam radikal, dan ketika banyak aktivis Islam ditahan dan mendapat perlakuan tidak wajar dari pemerintah Orde Baru, Sidney Jones dengan bendera Amnesti Internasional tampil sebagai pembela yang simpatik dan manusiawi. Ia banyak mendokumentasikan berbagai proses pengadilan, dokumen persidangan, dan berbagai data lainnya. Semuanya itu, ternyata menjadi barang berharga pasca-tragedi WTC 911, suatu hal yang barangkali tidak diduga, bahkan oleh Sidney Jones sendiri. Secara teknis upaya pengumpulan data yang dilakukan Sidney Jones dan kemudian dipublikasikan dalam bentuk laporan berkala, tidak perlu dibantah. Ia lumayan berpengalaman di bidang itu. Namun, hal yang juga tidak bisa dibantah adalah adanya kepentingan intelijen yang menyertai gerak langkahnya, terutama di masa propaganda anti-terorisme digencarkan AS. Baik itu intelijen asing seperti CIA, yang tentu saja bekerja sama dengan lembaga intelijen maupun LSM lokal di Indonesia.
Setiap laporan yang dipublikasikan, dilengkapi dengan catatan kaki, maraji’ (merujuk) yang jelas dan terang sumber-sumbernya, baik dari media massa, buku-buku, wawancara, termasuk juga dari dokumen (informasi) intelijen. Bagi mereka yang berada di “lapangan” ketika membaca laporan yang diterbitkan ICG, meski perlu sedikit waktu, namun tetap bisa dirasakan bagian-bagian mana yang berasal dari dokumen (informasi) intelijen, mana informasi yang jelas faktanya dan mana yang hanya fiktif belaka. Laporan ICG tentang terorisme, sebenarnya kebanyakan berasal dari dokumen (informasi) intelijen lokal.
Maka, ketika baru-baru ini, laporan ICG berkenaan dengan terorisme mendapat sorotan negatif dan dinilai memfitnah oleh Badan Intelijen Negara (BIN), justru mengundang tanda tanya besar. Dengan mengatasnamakan pemerintah dan meminta dukungan Komisi I DPR RI, Kepala BIN AM Hendropriyono (25/5) melakukan upaya-upaya yang dianggap tepat, yaitu mengusir Sidney Jones sebagai orang yang tidak disukai oleh bangsa Indonesia.
Mengapa baru sekarang? Sekiranya laporan-laporan ICG mengenai Jamaah Islamiyah (JI) dan terorisme, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia dinilai menyebarkan berita bohong, mengapa baru sekarang diungkapkan? Betapa lambannya kerja aparat intelijen.
Karena itu, wajar manakala berkembang opini, ketika hal yang bias tadi hanya merugikan umat Islam, hanya merugikan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, mereka diam saja. Bahkan menikmati buah yang dihasilkan dari kebijakan politik stick and carrot Presiden AS George W Bush.
CIA
CIA
Kenyataan yang tidak mungkin ditutup-tutupi lagi, bahwa polisi melakukan penahanan paksa terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, lalu membawanya ke proses pengadilan, hingga ke tingkat MA, sebenarnya didasarkan pada laporan bias tadi. Hasilnya bagi polisi cukup pahit, fakta yang terungkap di pengadilan mencengangkan, Ustadz Ba’asyir hanya bisa dijerat untuk kasus pemalsuan identitas dan melakukan kesalahan prosedur keimigrasian. Artinya, jauh dari aroma terorisme.
Dengan bersandar pada laporan yang bias tadi, polisi juga menangkap aktivis Muslim, bahkan ada yang mendapat siksaan, ditelanjangi lalu diminta memainkan alat vitalnya sambil distelkan video porno dan aneka perlakuan tidak wajar lainnya, seperti dialami tahanan kasus teroris di Bali. Juga, melakukan upaya evakuasi paksa terhadap Ustadz Ba’asyir dari RS PKU Muhammadiyah Solo ke tahanan Mabes Polda Jakarta. Bahkan ketika Ustadz Ba’asyir seharusnya menghirup udara bebas, meninggalkan sel penjara setelah menjalani vonis 18 bulan, pada 30 April lalu, aparat polisi justru menggelandangnya secara paksa dari Rutan Salemba, sehingga menyebabkan benturan berdarah antara polisi dan massa yang hendak menyambut kebebasan beliau.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu menjabat Menko Polkam, mendapat keuntungan. SBY mendapat toast langsung dari Wolfowitz serta applaus meriah dari petinggi AS lainnya, ketika ia berkunjung ke Washington DC, seraya melaporkan keberhasilannya menangkapi para aktivis masjid yang diduga terkait terorisme. Kini SBY melenggang masuk bursa pencalonan presiden.
Tampaknya ada semacam tradisi di kalangan pejabat Indonesia untuk selalu mengikuti ‘perintah’ AS. Bahkan ada semacam klenik politik, bahwa tanpa dukungan AS tidak mungkin seorang putra Indonesia bisa melaju mulus dan bisa bertahan lama menduduki kursi presiden di Indonesia.
Megawati Soekarnoputri, selain menerbitkan UU Anti-Terorisme, pernah berucap, “Kita tidak mungkin melawan AS. Kalau melawan, kita tidak akan bisa bertahan walau hanya seminggu.”
Wiranto, capres dari Golkar tampaknya juga punya keyakinan serupa. Di dalam, materi kampanyenya di TV swasta, Wiranto menampilkan sosok Paul Wolfowitz (Deputi Menhan AS, seorang arsitek pembantaian dan pemusnahan massal terhadap rakyat Irak). Belum lama ini Wiranto bertemu Dubes AS, Ralph L Boyce di Jakarta, setelah sebelumnya sempat menjadi penyanyi dadakan di sebuah acara ulang tahun Dhani Dewa, yang juga dihadiri beberapa petinggi AS.
Hal lain, tumbuhnya permusuhan antara aparat kepolisian dengan aktivis penegak syariat Islam, terjadi antara lain berkat laporan yang bias tadi. Mengapa kita harus berdarah-darah karena sebuah laporan yang pada akhirnya diketahui bohong?
Bebaskan para tersangka teroris
Laporan ICG, memang itdak selalu akurat. Pada laporannya tanggal 8 Agustus 2002 misalnya, di bawah judul, “Al Qaeda in Southeast Asia: ‘Ngruki Network’ in Indonesia”, antara lain dikesankan bahwa penulis dan Agus Dwikarna (kini menjadi terpidana 10 tahun penjara di Filipina), sudah berkawan sejak lama, semenjak menjadi sesama aktivis menentang asas tunggal Pancasila. Padahal, penulis pertama kali berjumpa dan kenal Agus Dwikarna pada Agustus 2000, ketika ia membawa banyak partisipan dari Makassar mengikuti Kongres Mujahidin I yang diadakan di Yogyakarta.
Agus Dwikarna adalah aktivis KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam) di Sulawesi Selatan, jauh sebelum Kongres Mujahidin berlangsung. Kemudian, Agus Dwikarna menjadi wakil sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin periode 2000-2003.
Patut dipertanyakan, dari mana Sidney Jones mendapat informasi itu? Kemungkinan dari dokumen (informasi) badan intelijen. Sebab, bila ia mewawancarai penulis atau Agus, pastilah tidak akan ada kesalahan laporan seperti itu.
Contoh lain, masih pada laporan yang sama, adalah informasi tentang Ibnu Thayib alias Abu Fatih alias Abdullah Anshari. Menurut laporan itu, Abdullah Anshari alias Ibnu Thayib alias Abu Fatih pada Juni 1986 berada di LP Cipinang. Ia mendekam di LP dengan vonis 9 tahun untuk kasus Usroh, dan tetap mendekam di LP hingga bebas tahun 1993. Dengan data palsu semacam itu, ICG kemudian membuat kesimpulan salah dan fatal, seakan-akan Majelis Mujahidin yang dipimpin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir merupakan embrio DI/TII dan menjadi organisasi payung bagi Jamaah Islamiyah (JI).
Padahal JI, seperti diceritakan Ustadz Iqbal Abdurrahman alias Abu Jibril yang dideportasi pemerintah Malaysia ke Indonesia, 14 Mei 2004, adalah istilah yang dibuat polisi Malaysia. Ketika sejumlah pemuda Islam Malaysia ditahan, 2001, di bawah UU Keamanan Dalam Negeri (ISA) dalam interogasi polisi menanyakan: “Siapa guru kalian?” “Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Iqbal,” jawab mereka. “Apa nama kumpulan kalian?” “Kami hanya jamaah pengajian biasa, tidak ada namanya.” “Kalau begitu kalian disebut Jamaah Islamiyah saja.” Kemudian, persis seperti yang dilakukan Ali Moertopo dengan menciptakan istilah Komji (Komando Jihad) di masa Orde Baru, yang kemudian dijadikan alasan menangkap eksponen DI/TII dengan tuduhan subversi.
Pada laporan ICG 11 Desember 2002, “Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates,” antara lain disebutkan bahwa Tengku Fauzi Hasbi alias Abu Jihad, paman Al Chaidar, mengenal dan pernah bertemu tokoh JI Abdullah Sungkar melalui bapaknya almarhum Tengku Hasbi Gedong. Laporan ICG juga menyebutkan bahwa Abu Jihad pernah bertemu dengan Al-Farouq, Hambali, dan sebagainya. Tetapi ICG sama sekali tidak melaporkan, bahwa sejak 1979, seperti dinyatakan sebuah sumber yang dekat dengan Lamtaruna, putra Tengku Fauzi, bahwa Abu Jihad sudah bekerja untuk TNI AD di dalam memerangi gerakan separatis di Aceh. Laporan itu hanya memberikan kesan bahwa Tengku Fauzi Hasbi alias Abu Jihad yang terbunuh Februari 2003 di Ambon ketika sedang menjalankan tugas dari lembaganya adalah tokoh Islam garis keras dari Aceh.
Berkenaan dengan kasus Usroh, laporan ICG (8 Agustus 2002) sangat selektif, entah dengan maksud apa. Laporan itu sama sekali tidak mencantumkan nama Nur Hidayat (NH). Malahan, yang selalu disebut-sebut, selain Abdullah Sungkar adalah Ibnu Thoyib alias Abu Fatih alias Abdullah Anshari serta beberapa nama lainnya. Padahal sosok NH ini begitu penting pada masa itu, bahkan tetap penting pada masa-masa berikutnya (tahun 2000-an).
Ketika ucapan yang ditujukan kepada Ibnu Thayib tidak mempan, ternyata umpan itu ditelan oleh NH. Kemudian meledaklah kasus Lampung yang terjadi Februari 1989. Sosok NH ini juga berperan penting menjelang kejatuhan rezim Soeharto (1998), khususnya yang berkaitan dengan pembentukan Pam Swakarsa.
Pada tahun 2000, kasus peledakan malam Natal, sosok NH juga menjadi buah bibir. Beberapa saat setelah kasus peledakan Malam Natal tahun 2000 terjadi, kepada seorang tokoh Islam asal Bekasi, NH mengatakan via telepon, bahwa peledakan itu dilakukan oleh “orang-orang kita.”
Pada harian Rakyat Merdeka, edisi 29 Januari 2001, NH mengatakan bahwa ia tahu akan terjadinya peledakan malam Natal 2000 dari seorang kawannya asal Bandung, bahkan sang kawan itu berusaha mengajaknya namun NH menolak. Pernyataan itu, seharusnya bisa menjadi alasan bagi pihak kepolisian untuk menindak NH. Tapi hal itu tidak dilakukan polisi.
Ustadz Abu Bakar Baasyir
Ustadz Abu Bakar Ba'asyir
Sementara Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, hanya akibat ‘pengakuan’ Al-Farouq kepada majalah Time edisi September 2002 maupun pengakuan (BAP) Faiz Abubakar Bafana, beliau dibawa secara paksa dari RS PKU Solo, dimasukkan ke dalam rumah tahanan, dan diproses secara hukum. Setelah menjalani proses peradilan yang panjang, ternyata beliau tidak terbukti terlibat dalam kasus peledakan malam Natal tahun 2000.
Berbeda dengan Ba’asyir, sosok NH jangankan tersentuh proses hukum, disebut-sebut saja tidak oleh Sidney Jones. Inilah salah satu kejanggalan yang amat luar biasa telanjang.
Meski sudah mendapat ampunan dari Presiden Habibie, Ustadz Ba’asyir tetap diproses dan divonis 18 bulan oleh MA untuk kasus pelariannya ke Malaysia. Bandingkan dengan Wahidin, salah satu dari empat serangkai provokator kasus Lampung, yang hingga kini bebas melenggang ke sana ke mari bersama NH, padahal dulu ia buron, lenyap bagai ditelan bumi, guna menghindari proses hukum kasus Talangsari, Lampung, 1989.
Begitu banyak kejanggalan dan bias yang bisa didapatkan dari laporan tentang terorisme, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia. Apakah pantas jika karena itu polisi menguras tenaga, berdarah-darah, dan menzalimi ulama, seorang tua yang bahkan melalui sidang pengadilan pun tidak terbukti bersalah?
Sekalipun terlambat, akhirnya pemerintah Indonesia menyadari telah diprovokasi LSM asing. Oleh karena itu, jika kesadaran pemerintah ini muncul dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih bermartabat, maka keteledoran ini hendaknya didukung tindakan konkret.
Pertama, Mahkamah Konstitusi segera menghapus UU No 1 tahun 2002 tentang Anti-Terorisme dan UU No 15 tahun 2003. Pencabutan ini tidak akan menyebabkan kekosongan hukum (rechtsvakuum) karena perihal pembunuhan berencana, pemilikan bom dan senjata, permufakatan jahat, pembajakan pesawat udara, ataupun makar, sebagaimana tercantum dalam UU Anti-Terorisme, telah diatur dalam peraturan hukum pidana RI.
Kedua, dengan berbagai kebohongan pemerintah AS sejak peristiwa WTC (2001) hingga invasinya ke Irak (2003), bangsa Indonesia harus meyakini tentang kebobrokan konsepsi terorisme, karena itu pemerintah harus mundur dari Traktak Anti-Terorisme PBB. Ketiga, aparat keamanan yang telah menangkap ulama dan aktivis Islam menggunakan data bohong tentang terorisme Jamaah Islamiyah harus dimintai pertanggungjawaban dan diseret ke sidang pengadilan sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Dan keempat, tidak ada lagi alasan untuk berlama-lama menahan ulama dan aktivis muslim yang ditahan dengan tuduhan terorisme, maka pemerintah harus segera membebaskan mereka, demi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sumber data dari: Irfan S Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)
http://kabarnet.wordpress.com/2009/08/30/siapakah-sidney-jones-ilmuan-atau-provokator-yahudi/
http://bifisamagz.wordpress.com/2009/09/01/siapa-sidney-jones-cia-atau-provokator-yahudi/
Sidney Jones, direktur ICG (International Crisis Group) untuk Indonesia, tersandung masalah, karena sebagai orang asing kehadirannya tidak lagi dikehendaki di negeri ini. Alasan pengusiran itu, menurut Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) AM Hendropriyono, disebabkan oleh laporan-laporan yang dipublikasikannya berkenaan dengan terorisme Jamaah Islamiyah dikategorikan bias atau bersifat fitnah.
Membaca laporan-laporan yang disampaikan Sidney Jones secara berkala, niscaya membuat banyak orang terkecoh. Tapi, bagi kalangan aktivis pergerakan, laporan itu haruslah disikapi dengan waspada dan hati-hati. Ketika sekelompok orang mendesak untuk menanggapi beberapa laporan yang sudah dipublikasikan ICG, penulis tidak merasa kaget: “Ini hanya sebuah permainan.” Saya percaya, Sidney Jones adalah seorang ilmuwan, sembari berharap, cepat atau lambat, ia akan kembali kepada fitrahnya sebagai ilmuwan, yaitu mengutamakan kebenaran serta menjunjung tinggi kejujuran intelektual.
Sejak tahun 1980-an, ketika merebak kasus subversi yang diidentikkan dengan gerakan Islam radikal, dan ketika banyak aktivis Islam ditahan dan mendapat perlakuan tidak wajar dari pemerintah Orde Baru, Sidney Jones dengan bendera Amnesti Internasional tampil sebagai pembela yang simpatik dan manusiawi. Ia banyak mendokumentasikan berbagai proses pengadilan, dokumen persidangan, dan berbagai data lainnya. Semuanya itu, ternyata menjadi barang berharga pasca-tragedi WTC 911, suatu hal yang barangkali tidak diduga, bahkan oleh Sidney Jones sendiri. Secara teknis upaya pengumpulan data yang dilakukan Sidney Jones dan kemudian dipublikasikan dalam bentuk laporan berkala, tidak perlu dibantah. Ia lumayan berpengalaman di bidang itu. Namun, hal yang juga tidak bisa dibantah adalah adanya kepentingan intelijen yang menyertai gerak langkahnya, terutama di masa propaganda anti-terorisme digencarkan AS. Baik itu intelijen asing seperti CIA, yang tentu saja bekerja sama dengan lembaga intelijen maupun LSM lokal di Indonesia.
Setiap laporan yang dipublikasikan, dilengkapi dengan catatan kaki, maraji’ (merujuk) yang jelas dan terang sumber-sumbernya, baik dari media massa, buku-buku, wawancara, termasuk juga dari dokumen (informasi) intelijen. Bagi mereka yang berada di “lapangan” ketika membaca laporan yang diterbitkan ICG, meski perlu sedikit waktu, namun tetap bisa dirasakan bagian-bagian mana yang berasal dari dokumen (informasi) intelijen, mana informasi yang jelas faktanya dan mana yang hanya fiktif belaka. Laporan ICG tentang terorisme, sebenarnya kebanyakan berasal dari dokumen (informasi) intelijen lokal.
Maka, ketika baru-baru ini, laporan ICG berkenaan dengan terorisme mendapat sorotan negatif dan dinilai memfitnah oleh Badan Intelijen Negara (BIN), justru mengundang tanda tanya besar. Dengan mengatasnamakan pemerintah dan meminta dukungan Komisi I DPR RI, Kepala BIN AM Hendropriyono (25/5) melakukan upaya-upaya yang dianggap tepat, yaitu mengusir Sidney Jones sebagai orang yang tidak disukai oleh bangsa Indonesia.
Mengapa baru sekarang? Sekiranya laporan-laporan ICG mengenai Jamaah Islamiyah (JI) dan terorisme, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia dinilai menyebarkan berita bohong, mengapa baru sekarang diungkapkan? Betapa lambannya kerja aparat intelijen.
Karena itu, wajar manakala berkembang opini, ketika hal yang bias tadi hanya merugikan umat Islam, hanya merugikan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, mereka diam saja. Bahkan menikmati buah yang dihasilkan dari kebijakan politik stick and carrot Presiden AS George W Bush.
CIA
CIA
Kenyataan yang tidak mungkin ditutup-tutupi lagi, bahwa polisi melakukan penahanan paksa terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, lalu membawanya ke proses pengadilan, hingga ke tingkat MA, sebenarnya didasarkan pada laporan bias tadi. Hasilnya bagi polisi cukup pahit, fakta yang terungkap di pengadilan mencengangkan, Ustadz Ba’asyir hanya bisa dijerat untuk kasus pemalsuan identitas dan melakukan kesalahan prosedur keimigrasian. Artinya, jauh dari aroma terorisme.
Dengan bersandar pada laporan yang bias tadi, polisi juga menangkap aktivis Muslim, bahkan ada yang mendapat siksaan, ditelanjangi lalu diminta memainkan alat vitalnya sambil distelkan video porno dan aneka perlakuan tidak wajar lainnya, seperti dialami tahanan kasus teroris di Bali. Juga, melakukan upaya evakuasi paksa terhadap Ustadz Ba’asyir dari RS PKU Muhammadiyah Solo ke tahanan Mabes Polda Jakarta. Bahkan ketika Ustadz Ba’asyir seharusnya menghirup udara bebas, meninggalkan sel penjara setelah menjalani vonis 18 bulan, pada 30 April lalu, aparat polisi justru menggelandangnya secara paksa dari Rutan Salemba, sehingga menyebabkan benturan berdarah antara polisi dan massa yang hendak menyambut kebebasan beliau.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu menjabat Menko Polkam, mendapat keuntungan. SBY mendapat toast langsung dari Wolfowitz serta applaus meriah dari petinggi AS lainnya, ketika ia berkunjung ke Washington DC, seraya melaporkan keberhasilannya menangkapi para aktivis masjid yang diduga terkait terorisme. Kini SBY melenggang masuk bursa pencalonan presiden.
Tampaknya ada semacam tradisi di kalangan pejabat Indonesia untuk selalu mengikuti ‘perintah’ AS. Bahkan ada semacam klenik politik, bahwa tanpa dukungan AS tidak mungkin seorang putra Indonesia bisa melaju mulus dan bisa bertahan lama menduduki kursi presiden di Indonesia.
Megawati Soekarnoputri, selain menerbitkan UU Anti-Terorisme, pernah berucap, “Kita tidak mungkin melawan AS. Kalau melawan, kita tidak akan bisa bertahan walau hanya seminggu.”
Wiranto, capres dari Golkar tampaknya juga punya keyakinan serupa. Di dalam, materi kampanyenya di TV swasta, Wiranto menampilkan sosok Paul Wolfowitz (Deputi Menhan AS, seorang arsitek pembantaian dan pemusnahan massal terhadap rakyat Irak). Belum lama ini Wiranto bertemu Dubes AS, Ralph L Boyce di Jakarta, setelah sebelumnya sempat menjadi penyanyi dadakan di sebuah acara ulang tahun Dhani Dewa, yang juga dihadiri beberapa petinggi AS.
Hal lain, tumbuhnya permusuhan antara aparat kepolisian dengan aktivis penegak syariat Islam, terjadi antara lain berkat laporan yang bias tadi. Mengapa kita harus berdarah-darah karena sebuah laporan yang pada akhirnya diketahui bohong?
Bebaskan para tersangka teroris
Laporan ICG, memang itdak selalu akurat. Pada laporannya tanggal 8 Agustus 2002 misalnya, di bawah judul, “Al Qaeda in Southeast Asia: ‘Ngruki Network’ in Indonesia”, antara lain dikesankan bahwa penulis dan Agus Dwikarna (kini menjadi terpidana 10 tahun penjara di Filipina), sudah berkawan sejak lama, semenjak menjadi sesama aktivis menentang asas tunggal Pancasila. Padahal, penulis pertama kali berjumpa dan kenal Agus Dwikarna pada Agustus 2000, ketika ia membawa banyak partisipan dari Makassar mengikuti Kongres Mujahidin I yang diadakan di Yogyakarta.
Agus Dwikarna adalah aktivis KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam) di Sulawesi Selatan, jauh sebelum Kongres Mujahidin berlangsung. Kemudian, Agus Dwikarna menjadi wakil sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin periode 2000-2003.
Patut dipertanyakan, dari mana Sidney Jones mendapat informasi itu? Kemungkinan dari dokumen (informasi) badan intelijen. Sebab, bila ia mewawancarai penulis atau Agus, pastilah tidak akan ada kesalahan laporan seperti itu.
Contoh lain, masih pada laporan yang sama, adalah informasi tentang Ibnu Thayib alias Abu Fatih alias Abdullah Anshari. Menurut laporan itu, Abdullah Anshari alias Ibnu Thayib alias Abu Fatih pada Juni 1986 berada di LP Cipinang. Ia mendekam di LP dengan vonis 9 tahun untuk kasus Usroh, dan tetap mendekam di LP hingga bebas tahun 1993. Dengan data palsu semacam itu, ICG kemudian membuat kesimpulan salah dan fatal, seakan-akan Majelis Mujahidin yang dipimpin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir merupakan embrio DI/TII dan menjadi organisasi payung bagi Jamaah Islamiyah (JI).
Padahal JI, seperti diceritakan Ustadz Iqbal Abdurrahman alias Abu Jibril yang dideportasi pemerintah Malaysia ke Indonesia, 14 Mei 2004, adalah istilah yang dibuat polisi Malaysia. Ketika sejumlah pemuda Islam Malaysia ditahan, 2001, di bawah UU Keamanan Dalam Negeri (ISA) dalam interogasi polisi menanyakan: “Siapa guru kalian?” “Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Iqbal,” jawab mereka. “Apa nama kumpulan kalian?” “Kami hanya jamaah pengajian biasa, tidak ada namanya.” “Kalau begitu kalian disebut Jamaah Islamiyah saja.” Kemudian, persis seperti yang dilakukan Ali Moertopo dengan menciptakan istilah Komji (Komando Jihad) di masa Orde Baru, yang kemudian dijadikan alasan menangkap eksponen DI/TII dengan tuduhan subversi.
Pada laporan ICG 11 Desember 2002, “Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates,” antara lain disebutkan bahwa Tengku Fauzi Hasbi alias Abu Jihad, paman Al Chaidar, mengenal dan pernah bertemu tokoh JI Abdullah Sungkar melalui bapaknya almarhum Tengku Hasbi Gedong. Laporan ICG juga menyebutkan bahwa Abu Jihad pernah bertemu dengan Al-Farouq, Hambali, dan sebagainya. Tetapi ICG sama sekali tidak melaporkan, bahwa sejak 1979, seperti dinyatakan sebuah sumber yang dekat dengan Lamtaruna, putra Tengku Fauzi, bahwa Abu Jihad sudah bekerja untuk TNI AD di dalam memerangi gerakan separatis di Aceh. Laporan itu hanya memberikan kesan bahwa Tengku Fauzi Hasbi alias Abu Jihad yang terbunuh Februari 2003 di Ambon ketika sedang menjalankan tugas dari lembaganya adalah tokoh Islam garis keras dari Aceh.
Berkenaan dengan kasus Usroh, laporan ICG (8 Agustus 2002) sangat selektif, entah dengan maksud apa. Laporan itu sama sekali tidak mencantumkan nama Nur Hidayat (NH). Malahan, yang selalu disebut-sebut, selain Abdullah Sungkar adalah Ibnu Thoyib alias Abu Fatih alias Abdullah Anshari serta beberapa nama lainnya. Padahal sosok NH ini begitu penting pada masa itu, bahkan tetap penting pada masa-masa berikutnya (tahun 2000-an).
Ketika ucapan yang ditujukan kepada Ibnu Thayib tidak mempan, ternyata umpan itu ditelan oleh NH. Kemudian meledaklah kasus Lampung yang terjadi Februari 1989. Sosok NH ini juga berperan penting menjelang kejatuhan rezim Soeharto (1998), khususnya yang berkaitan dengan pembentukan Pam Swakarsa.
Pada tahun 2000, kasus peledakan malam Natal, sosok NH juga menjadi buah bibir. Beberapa saat setelah kasus peledakan Malam Natal tahun 2000 terjadi, kepada seorang tokoh Islam asal Bekasi, NH mengatakan via telepon, bahwa peledakan itu dilakukan oleh “orang-orang kita.”
Pada harian Rakyat Merdeka, edisi 29 Januari 2001, NH mengatakan bahwa ia tahu akan terjadinya peledakan malam Natal 2000 dari seorang kawannya asal Bandung, bahkan sang kawan itu berusaha mengajaknya namun NH menolak. Pernyataan itu, seharusnya bisa menjadi alasan bagi pihak kepolisian untuk menindak NH. Tapi hal itu tidak dilakukan polisi.
Ustadz Abu Bakar Baasyir
Ustadz Abu Bakar Ba'asyir
Sementara Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, hanya akibat ‘pengakuan’ Al-Farouq kepada majalah Time edisi September 2002 maupun pengakuan (BAP) Faiz Abubakar Bafana, beliau dibawa secara paksa dari RS PKU Solo, dimasukkan ke dalam rumah tahanan, dan diproses secara hukum. Setelah menjalani proses peradilan yang panjang, ternyata beliau tidak terbukti terlibat dalam kasus peledakan malam Natal tahun 2000.
Berbeda dengan Ba’asyir, sosok NH jangankan tersentuh proses hukum, disebut-sebut saja tidak oleh Sidney Jones. Inilah salah satu kejanggalan yang amat luar biasa telanjang.
Meski sudah mendapat ampunan dari Presiden Habibie, Ustadz Ba’asyir tetap diproses dan divonis 18 bulan oleh MA untuk kasus pelariannya ke Malaysia. Bandingkan dengan Wahidin, salah satu dari empat serangkai provokator kasus Lampung, yang hingga kini bebas melenggang ke sana ke mari bersama NH, padahal dulu ia buron, lenyap bagai ditelan bumi, guna menghindari proses hukum kasus Talangsari, Lampung, 1989.
Begitu banyak kejanggalan dan bias yang bisa didapatkan dari laporan tentang terorisme, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia. Apakah pantas jika karena itu polisi menguras tenaga, berdarah-darah, dan menzalimi ulama, seorang tua yang bahkan melalui sidang pengadilan pun tidak terbukti bersalah?
Sekalipun terlambat, akhirnya pemerintah Indonesia menyadari telah diprovokasi LSM asing. Oleh karena itu, jika kesadaran pemerintah ini muncul dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih bermartabat, maka keteledoran ini hendaknya didukung tindakan konkret.
Pertama, Mahkamah Konstitusi segera menghapus UU No 1 tahun 2002 tentang Anti-Terorisme dan UU No 15 tahun 2003. Pencabutan ini tidak akan menyebabkan kekosongan hukum (rechtsvakuum) karena perihal pembunuhan berencana, pemilikan bom dan senjata, permufakatan jahat, pembajakan pesawat udara, ataupun makar, sebagaimana tercantum dalam UU Anti-Terorisme, telah diatur dalam peraturan hukum pidana RI.
Kedua, dengan berbagai kebohongan pemerintah AS sejak peristiwa WTC (2001) hingga invasinya ke Irak (2003), bangsa Indonesia harus meyakini tentang kebobrokan konsepsi terorisme, karena itu pemerintah harus mundur dari Traktak Anti-Terorisme PBB. Ketiga, aparat keamanan yang telah menangkap ulama dan aktivis Islam menggunakan data bohong tentang terorisme Jamaah Islamiyah harus dimintai pertanggungjawaban dan diseret ke sidang pengadilan sebagai pelaku pelanggaran HAM berat. Dan keempat, tidak ada lagi alasan untuk berlama-lama menahan ulama dan aktivis muslim yang ditahan dengan tuduhan terorisme, maka pemerintah harus segera membebaskan mereka, demi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sumber data dari: Irfan S Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)
http://kabarnet.wordpress.com/2009/08/30/siapakah-sidney-jones-ilmuan-atau-provokator-yahudi/
http://bifisamagz.wordpress.com/2009/09/01/siapa-sidney-jones-cia-atau-provokator-yahudi/
Comments
Post a Comment