Di Jendi, Selogiri, Mereka Hidup Menghirup Merkuri" Oleh Eddy J Soetopo,

Sudah lebih dari delapan jam Wasiyem, 29 tahun, ia mendulang emas di kali Bakor yang mengular dari perbukitan di dukuh Nglenggong, Desa Jendi, Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri tak sebutir pun ia temukan emas. Padahal biasanya, selama mengayak bongkahan batu yang digali suaminya di perbukitan, sedikitnya ia peroleh 0,021 mili gram. Tapi kali ini Wasiyem tak menemui butiran halus menyilaukan mata itu.

Meski badannya tak kelihatan ringkih, pekerjaan mendulang emas di kali Bakor yang digelutinya selama lebih dari lima belas tahun lalu itu, tak membuatnya ketakutan keracunan mercuri. Wasiyem tak menyadari batuk-batuk kering setiap malam yang sering ia keluhkan, bisa jadi pertanda ia diduga positif teracuni uap hydrogyum (Hg) saat mengayak bongkahan pasir yang dicampur air raksa.

Wasiyem dan para penambang ilegal lain di Jendi tidak menghiraukan resiko keracunan mercuri. Yang ia tahu, paparnya, ketiga anaknya memerlukan makan dan biaya sekolah. Satu dari tiga anak Wasiyem ada yang telah menamatkan pendidikan di STM Bhineka, di Kabupaten Wonogiri. Dua anaknya yang lain masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Itu semua memerlukan biaya yang tidak sedikit. Wong semua serba mahal,” ujar Wasiyem seraya menambahkan, “Semua pekerjaan ada resikonya. Saya sering dengar raksa –maksudnya air raksa (Hg) – bisa mempercepat kematian. Tapi bagaimana lagi. Kalau dilarang, terus siapa yang akan menanggung kehidupan keluarga kami? Pak bupati mau tanggung’kan ya tidak. Hidup mati itu Gusti Allah yang menentukan.”

Fenomena penambangan emas ilegal yang dilakukan secara tradisional dengan teknik amalgamasi –proses penyelaputan partikel emas menggunakan air raksa– sulit dimengerti ancaman bahaya yang akan ditimbulkannya. Maklum saja Wasiyem dan kebanyakan para penambang di Jendi hanyalah tamatan sekolah menengah pertama. Meski penyuluhan berulang kali telah dilakukan oleh Suku Dinas Kesehatan dan Lingkungan Kabupaten Wonogiri, toh para penambang emas di sekitar perbukitan Jendi itu tak menghiraukan keselamatan dirinya.

“Instansi kami tidak kurang-kurang memberikan penyuluhan pada warga sekitar penambang illegal di Jendi. Tapi mereka tidak mempedulikan keselamatan dirinya. Padahal hasil penelitian di daerah lokasi penambangan dinyatakan positif tercemar limbah beracun mercuri,” ujar Purwadi Sumarsono Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan. “Bahkan kami sering menggunakan contoh akibat keracunan mercuri dengan pemutaran film kasus Minamata di Jepang.”

Menurut Purwadi hasil penelitian terhadap 53 sumur milik warga, diketahui 60% mengandung zat merkuri sehingga tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Yang lebih mengejutkan, ujar Purwadi hasil pemeriksaan darah warga di sekitar lokasi penambangan menunjukkan 30% dari 200 orang warga yang diperiksa kandungan merkuri telah melebihi ambang batas toleransi.

“Hasil pengecekan darah 200 warga yang tinggal di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri, Wonogiri menunjukkan 30 persen dalam sel darahnya mengandung merkuri melebihi ambang batas toleransi yaitu lebih dari 50 microgram per liter,” kata Purwadi Sumarsono ketika ditemui di kantornya, Jumat [16/07] lalu.

Tidak hanya itu, ujar Purwadi, yang mengkawatirkan banyak sumur warga yang terdapat di sekitar desa Jendi juga telah tercemar kandungan merkuri melewati batas ambang aman. Bahkan, menurut hasil penelitian yang dilakukan Puskemas Jendi menyebutkan, kandungan merkuri yang terdapat di dalam surmur warga telah mencapai 0,0001 mg/liter. “Kalau persentase sudah sedemikian tinggi, rasa air sumur pait dan tidak bisa diminum,” tandas Purwadi mengutib hasil penelitian dr Pitut Kristiyanto Kepala Puskesmas Jendi yang dilakukan beberapa waktu lalu.

Meski demikian, papar Purwadi lebih lanjut pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa, selain memberikan isyarat terkait keamanan yang menyangkut kesehatan lingkungan. Ia menyadari, persoalan pencemaran yang disebabkan penambangan illegal, merupakan masalah kemiskinan. Memang agak sulit mengurai cara penyelesaian terbaik bagi penyelesaian temuan hasil penelitian dengan kondisi social ekonomi masyarakat setempat.

“Agak sulit mencari titik temu agar para penambang emas menyadari bahaya yang ditimbulkan akibat keracunan merkuri di satu sisi, dan kebutuhan ekonomi keluarga warga desa berjalan dengan baik tanpa menambang emas menggunakan merkuri,” papar Purwadi seraya menambahkan, “Pokok persoalan sebenarnya terkait kemiskinan.”

Apa yang dikatakan Purwadi Suwarsono, pejabat yang baru berdinas sekitar tiga bulan itu, tidaklah berlebihan. Bila dilihat dari peta lokasi penambangan di desa di sekitar perbukitan Jendi kondisi perkampungan warga tidaklah seramai seperti saat ini.

Wasiyem bukanlah satu-satunya pendulang emas di hulu sungai Bagor yang kini tak lagi mengalirkan serpihan lempeng tanah bertabur bulir emas, sisa-sisa penambangan illegal warga setempat. Padahal sepuluh tahun lalu, ujar Daryatno, 32, suami Wasiyem, pendapatan dari menambang emas di perbukitan mampu diperoleh 0.5-1 gram butir emas.

“Kalau dulu bisa memperoleh 05 gram sampai 1 gram butiran biji emas. Hasilnya pun lumayan besar, setelah dikurangi untuk ongkos makan sehari-hari dan membeli air raksa,” katanya. “Dua anak saya telah tamat dari STM berkat kerjaan mendulang emas di Kali Bagor,” ujarnya seraya menambahkan, “Sebelum banyak pendatang dari luar kota menambang emas di perbukitan ini, pendapatan kami lumayan besar. Sekarang mendapat 1 mili gram saja sulitnya minta ampun. Harus berkubang dalam air berjam-jam.”

Kondisi sulit seperti yang dialami Wasiyem juga dialami penambang lain, Sri Utomo, 29 tahun. Menurutnya, kurang lebih 3-4 tahun hasil galian yang diperolehnya tidak dapta diharapkan memperoleh kilauan bijih emas. Padahal kebutuhan hidup sehari-hari untuk makan dan membeli keperluan pengilingan bebatuan dan air raksa semakin tinggi. “Agak sulit memperoleh hasil gilingan berupa serpihan biji emas. Kalau dulu bisa diharapkan, sekarang susah. Apalagi bahan pemilah emas seperti air raksa harganya mahal. Terpaksa utang kiri-kanan untuk mencukupi biaya hidup,” ujar tamatan SMP dengan menerawang. “Kalau uap raksa setiap hari menghirup, tapi belum tentu memperoleh biji emas.”

Tidak hanya soal keracunan merkuri yang kini sedang dialami para penambang emas di Jendi. Mereka pun juga harus berebut menggali perut bumi di Jendi. Kalau dulu, ujar Sugiyanto, tidak banyak yang melakukan penambangan tradisional di Jendi. Tapi sekarang terdapat sekitar 125-an pengelola tambang rakyat. “Bukan perkara mudah mengelola dan mengawasi para penambang sebanyak itu.” (eddy j soetopo)

Comments

Popular posts from this blog

jenazah Syaifudin-Syahrir diambil

Malaysia takut dengan RI

Tukang Pijat Bunuh Kopassus karena Kesal