Anak-anak di balik terali besi

















Pertengahan Juni 2009, secara serentak beberapa stasiun televisi swasta nasional menayangkan dua kasus kriminalitas dengan pelaku anak-anak. Usia mereka 12 tahun–15 tahun dari latar belakang keluarga sederhana. Satu kasus pencurian terjadi di wilayah Depok dan yang lain adalah kasus perjudian di wilayah Tangerang.


Dalam gambar, tampak sekali anak-anak tersebut sangat tertekan di dalam tahanan. Mereka menangis minta segera pulang dan ada pula yang hanya menundukkan kepala dengan lesu. Di antara mereka ada yang mengalami kekerasan selama penyidikan.
Kasus di Tangerang dan Depok merupakan gambaran kondisi anak-anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia. Di Solo, berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan di Pengadilan Negeri Solo, terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan. Salah satunya anak berinisial BT, 15, karena mencuri sandal. Atau juga DSW, 14, yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap teman sekolahnya. Karena kasus-kasus itu, keduanya harus mengenyam udara di Rumah Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan.
Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan. Mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh hakim dan pelaksanaan putusan hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh UU untuk melakukan penahanan.
Situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak. Ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Selain psikis mereka yang terluka, akses pendidikan bagi anak-anak yang ditahan pun terbatas. Dari sekitar 20 anak usia sekolah yang berada di Rutan Solo, hanya satu anak yang sempat merasakan ujian akhir semester tahun 2009 di Rutan.
Payung hukum
Payung hukum untuk melindungi hak anak di Indonesia adalah UU No 39/ 1999 tentang HAM, UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak serta Keppres No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
Namun yang menjadi masalah adalah belum adanya kesiapan sarana dan prasarana bagi anak yang terlibat masalah hukum. Data per 1 Juni 2009, jumlah anak yang pernah menjadi tahanan di Rutan Solo mencapai 74 anak. Tapi per 16 Juli 2009, jumlah tahanan anak sebanyak 13 orang. Rutan Solo menyediakan dua sel dalam Wisma Anak untuk menampung mereka.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan.
Proses hukum anak-anak tersebut masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Persidangan anak dilakukan tertutup dengan hakim tunggal. Hakim, jaksa, dan penasihat hukum tidak menggunakan pakaian dinas atau toga. Pidana yang dapat dijatuhkan bagi mereka paling lama separuh dari ancaman maksimal pidana penjara orang dewasa. Anak juga mendapatkan perlindungan pemberitaan atas identitas mereka.
Pendekatan yang harus digunakan dalam penanganan pelanggaran hukum oleh anak adalah bahwa anak belum mengerti benar tentang kesalahan yang diperbuat, anak-anak pun lebih mudah dibina dan disadarkan akan kesalahan mereka.
Kenyataannya, anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak juga masih ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).




Keadilan restoratif
Seiring perkembangan pengetahuan dan permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum, lahirlah model penghukuman yang bersifat restoratif (restorative justice). Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan restorative justice system sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penerapan restorative justice menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Perbaikan kerugian harus proporsional dengan memperhatikan hak dan kebutuhan korban. Untuk menghasilkan kesepakatan para pihak tersebut, perlu dilakukan dialog-dialog informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative justice memang masih kurang terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku. Selama ini anak yang melakukan tindak pidana diharuskan mempertanggungjawabkan secara pidana pula, yakni dengan pemenjaraan.
Metode pemenjaraan yang selama ini dilakukan tidak selalu berhasil memberi efek jera pada kasus anak-anak. Dalam diri anak seusia mereka belum ada kesadaran akan akibat perbuatannya.
Pada intinya, fokus restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
Solo adalah salah satu kota layak anak yang dipilih Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sejak 2006. Konsekuensinya, Pemkot Solo harus berupaya memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum salah satunya dengan membentuk tim kerja untuk penerapan restorative justice. Data tahanan anak di Rutan Solo per 16 Juli 2009 menunjukkan angka 13. Artinya, terdapat 13 anak yang harus menghabiskan waktunya di dalam tahanan dengan fasilitas sangat terbatas, meskipun untuk kriminalitas ringan.
Harapannya dalam memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli ini, Kota Solo dapat mempercepat pembentukan tim restoratif justice sebagai implementasi Konvensi Hak Anak.



- Oleh : Dian Sasmita, Advokat KPBH Atma Solo

Comments

Popular posts from this blog

Pelajar Sragen pesta seks digrebeg warga

Tukang Pijat Bunuh Kopassus karena Kesal

Sat-81 Gultor siap buru Noordin M